Selasa, 19 April 2011

Peran Stres dalam Memahami Hubungan Manusia dengan Lingkungan

Menurut Veitch & Arkkelin (1995) stress dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan ketemu dengan sensor,menjadi sadar akan bahaya,memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kiata berhasil atau gagal dalam beradaptasi. Proses ini akan mengikuti suatu alur yang logis seperti pada gambar 3.7. ketika suatu sensor kita evaluasi, kita seleksi stategi-stategi untuk mengatasinya kita lakukan “pergerakan-pergerakan “ tubuh secara fisiologis dan psikologi untuk melawan stressor,dan lalu mengatasinya dengan suatu tindakan.jika coping berhavior (perlakuan penyesuaian diri) ini berhasil, maka adaptasi akan meningkat dan pengaruh stress menghilangkan. Sementara jika coping berhavior gagal, maka stress akan menerus, pembangkitan fisik dan fisiologis tidak dapat dihindari sehingga penyakit fisik akan menyerang.
Ketika tidak mengalami stress, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stress. Bahkan suatu stress terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium, yang tergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Kita dapat merasakan suara dibawah kondisi tertentu dapat dipersepsi sebgai kebisingan dan bagaimana persepsi ini mempengaruhi respon psikologis dan fisiologis terhadap sumber kebisingan. Sama halnya ketika kita menghadapi elemen-elemen lingkungan lainnya seperti kondisi atmosfir, kepadatan penduduk, rancangan arsitektur, dan produk tekhnologi. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stress. Kita akan mencoba meguraikan kondisi-kondisi dimana hal tersebut akan terjadi dan mencermatinya pada individu-individu yang dipengaruhi. Pada akhirnya kita dapat menyarankan cara-cara pencegahan terhadap stress dan pengaruh yang merugikan. Sehingga, kedua hal tersebut dapat diasumsikan untuk dapat kita hindari.

Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.

Jenis Stress

Banyak orang sekarang ini yang mengalami stress. Dengan kondisi perekonomian yang makin sulit. Lapangan pekerjaan yang semakin menyempit. Bertambahnya pengangguran akibat krisis global. Wajarlah jika sekarang banyak dari kita yang begitu berat memikirkan kehidupan sehari-hari. Tak hanya masalah ekonomi yang menjadi beban pikiran. Pekerjaan yang menumpuk dan tak kunjung selesai juga berakibat yang sama. Apalagi saat dalam usia-usia beranjak dewasa. Pasti akan banyak pikiran-pikiran yang akan membebani sampai-sampai terbawa saat tidur. Sebagai contoh, maslah dengan pacar, masalah dengan teman di kampus atau sekolah, masalah dengan dosen atau guru, atau bahkan masalah dengan orangtua. Ya..semua itu juga bisa menimbulkan stress. Sangatlah tidak nyaman jika hidup ini dikejar-kejar oleh hal-hal yang menganggu pikiran. Apa bisa menikmati hidup dengan cara seperti ini??? Dengan stress yang sangat mengganggu??? Dengan pikiran yang selalu saja tegang dan tak bisa tenang???



Jika stress yang kita alami adalah stress yang baik itu tidak ada masalah. Nah, masalahnya bagaimana bisa membedakan antara stress baik dan stress jahat?? Secara umum, stress yang baik adalah stress yang dapat memberikan energi positif dan dapat mengangkat motivasi untuk diri sendiri. Perbedaan ciri-ciri antara stress baik dan stress jahat adalah sebagai berikut:

Ciri-ciri stress yang baik:
  • Mengahadapi sesuatu dengan penuh harapan untuk melawan rasa takut dalam diri.
  • Memiliki jadwal yang sangat padat, tetapi didalam sela-sela jadwal yang padat itu ada aktivitas yang sangat diharapkan dan sangat dinikmati.
  • Memiliki komitmen yang lebih terhadap apa yang Anda sayangi. Misalnya: pernikahan, menjadi seorang ayah/ibu, menjadi pekerja, atau menjadi pegawai negeri.
  • Bekerja dengan tujuan tertentu dan Anda tahu kecepatan Anda saat bergerak akan berkurang saat tujuan itu tercapai atau bahkan saat baru akan tercapai.
  • Merasa tertantang, siap dan bersemangat untuk menerima dan menyelesaikan tugas yang akan Anda hadapi.
  • Merasakan kondisi badan yang cukup lelah namun akhirnya akan menikmati tidur yang lelap dan nyaman.


Ciri-ciri stress yang jahat:
  • Menghadapi segala sesuatu dengan perasan takut, resah, gelisah dan khawatir.
  • Memiliki jadwal yang sangat padat, tetapi tak ada satupun yang dapat Anda nikmati dan mau tidak mau, harus Anda penuhi kewajiban itu.
  • Merasa bahwa semua yang Anda lakukan tidaklah penting, tidak memenuhi seluruh kebutuhan Anda, dan tak sebanding dengan tenaga, pikiran dan waktu yang Anda curahkan.
  • Merasa tidak memegang kendali dan selalu merasa panik seakan-akan tidak ada jalan keluar untuk menyelesaikan tugas, merasa tidak ada selesainya, dan merasa tidak ada yang membantu menyelesaikannya.
  • Merasa lebih baik bekerja daripada berhenti/istirahat sejenak saat jam kerja.
  • Memiliki tidur yang tidak lelap, tidur yang resah, sering sakit maag, sakit punggung dan mempunyai sakit yang sifatnya menahun.


Nah, kurang lebih seperti itulah perbedaan dan gambaran tentang stress baik dan stress jahat. Stress apakah yang Anda alami saat ini?? Stress baik atau jahatkah?? Atau bahkan...dua-duanya?

Stress didefinisikan sebagai proses dengan kejadian lingkungan yang mengancam atau hilangnya kesejahteraan organisme yang menimbulkan beberapa respon dari organisme tersebut. Respons ini bisa dalam bentuk coping behavior (tingkah laku penyesuaian) terhadap ancaman. Kejadian-kejadian lingkungan yang menyebabkan proses ini disebut sebagai sumber stress (stressor) yang antara lain berupa bencana alam dan teknologi, bising, dan commuting, sedangkan reaksi yang timbul karena adanya stressor disebut respons dari stress (stress response).
Respons terhadap stress dicirikan dengan perubahan emosional, tingkah laku langsung terhadap pengurangan stress, dan perubahan psikologis seperti meningkatnya arousal. Proses ini meliputi seluruh bagian dari situasi, yaitu ancaman itu sendiri, persepsi terhadap ancaman, coping (penyesuaian) dengan ancaman, dan pada akhirnya beradaptasi dengan hal tersebut.


http://niandre7lovely.wordpress.com/2009/07/08/stress-lingkungan-dan-penanggulangannya/
http://profngeblog.blogspot.com/2009/02/jenis-dan-ciri-ciri-stress.html

Stress

PENGERTIAN STRESS
Istilah stress secara histories telah lama digunakan untuk menjelaskan suatu tuntutan untuk beradaptasi dari seseorang, ataupun reaksi seseorang terhadap tuntutan tersebut.
Menurut H. Handoko, Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Sedangkan berdasarkan definisi kerjanya, pengertian dari stress adalah :
a. Suatu tanggapan adaptif, ditengahi oleh perbedaan individual dan atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan ( lingkungan ), situasi atau kejadian eksternal yang membebani tuntunan psikologis atau fisik yang berlebihan terhadap seseorang.
b. Sebagai suatu tanggapan penyesuaian, dipengaruhi oleh perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar ( lingkungan ) situasi atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan pada seseorang.
Menurut Woolfolk dan Richardson (1979) menyatakan bahwa adanya system kognitif ,apresiawa stress l menyebabkan segala peristiwa yang terjadi disekitar kita akan dihayati sebagai suatu stress berdasarkan arti atau interprestasi yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut, dan bukan karena peristiwa itu sendiri.Karenanya dikatakan bahwa stress adalah suatu persepsi dari ancaman atau dari suatu bayangan akan adanya ketidaksenangan yang menggerakkan, menyiagakan atau mambuat aktif organisme.
Sebelumnya Selye (1936 ) telah menggambarkan bahwa strees adalah suatu sindrom biologic atau badaniah.Didalam eksperimennya, seekor tikus percobaan mengalami kedinginan pembedahan atau kerusakan sum-sum tulang belakang, akan memperlihatkan suatu sindroma yang khas.Gejala-gejala itu tidak tergantung pada jenis zat atau ruda yang menimbulkan kerusakan,sindroma ini lebih merupan perwujudan suatu keadaan yang dinamakan stress denagn gejala-gejala sistembilogik mahluk hidup itu. Selye menekankan bahwa stress terutama mewujudkan diri sebagai suatu reaksi badaniah yan dapat diamati dan diukur.Stres merupakan suatu reaksi penyusuaian diri,suatu sindroma penyusuaian umum terhadap rangsangan yang berbeda-beda.
Menurut Mason (1971 ) membantah konsep yang mengatakan bahwa stress hanyalah merupak badaniah saja. Ditunjukkkan nya bahwa daya adaptasi seseoarang itu tergantung pada faktor-faktor kejiwaan atau psikologiknya yang menyertai stresor. Stres bukanlah konsep faal saja, lebih banyak dilihat sebagai konsep perilaku, setiap reaksi organisme terhadap stresor memungkinkan sekali terlebih dahulu dimulai oleh kelainan perilaku dan kemudian mungkin baru terjadi akibat faal, kemudian Mason (1976 ) menunjukkan bahwa terdapat pola hormonal yang berbeda terhadap stresor fisik yang berbeda.
Pada penelitain Wolf dan Goodel ( 1968 ) bahwa individu-individu yang mengalami kesukaran dengan suatu sistem organ , cenderung akan bereaksi etrhadap stresor dengan gejala dan keluhan dalam sistem organ yang sama.Kondisi sosial, perasaan dan kemampuan untuk menanggulangi masalah, ternyata mempengaruhi juga aspek yang berbeda- beda dari reaksi terhadap stres.
Sumber dan macam-macam stresor antara lain :
1. Kondisi biologi.
Berbagai penyakit infeksi , trauma fisik dengan kerusakan organ biologik,mal nutrisi, kelelahan fisik, kekacauan fungsi biologik yang kontinyu
2. Kondisi Psikologi.
a. Berbagai konflik dan frustasi yang berhubungan dengan kehidupan moderen.
b. berbagai kondisi yang mengakibatkan sikap atau perasaan rendah diri (self devaluation ) seperti kegagalan mencapai sesuatu ynga sangt di idam-idamkan.
c. berbagai keadaan kehilangan seperti posisi, keuangan, kawan atau pasangan hidup yang sangat dicintai.
d. berbagai kondisi kekurangan yang dihayati sebagai sesuatu cacat yang sangat menentukan seperti penampilan fisik, jenis kelamin, usia, intelegensi dan lain-lain.
e. berbagai kondisi perasaan bersalah terutama yang menyakut kode moral etika yang dijunjung tinggi tetapi gagal dilaksanakan.
3. Kondisi Sosio Kultural.
Kehidupan moderen telah menempatkan manusia kedalam suatu kancah stress sosio kultural yang cukup berat. Perubahan sosio ekonomi dan sosio budaya yang datang secara cepat dan bertubi – tubi memerlukan suatu mekanisme pembelaan diri yang memadai. Stresor kehidupan moderen ini diantaranya. :
a. berbagai fluktuasi ekonomi dan segala akibatnya ( menciutnya anggaran rumah tangga , pengangguran dan lain-lain ).
b. Perceraian, keretakan rumah tangga akibat konflik ,kekecewaan dan sebagainya.
c. Persaingan yang keras dan tidak sehat.
d. Diskriminasi dan segala macam keterkaitannya akan membawa pengaruh yang menghambat perkembangan individu dan kelompok.
e. Perubahan sosil yang cepat apabila tiadak diimbangi dengan penyusuaian etika dan moral konvisional ynag memadai akan terasa ancaman. Dalam kondisi terburuk nilai materikalistik akan mendominasi nilai moral spiritual yang akan menimbulkan benturan konflik yang mungkin sebagian terungkap, sedangkan sebagian lainnya menjadi beban perasaan individu atau kelompok.
Stres memiliki dua gejala, yaitu gejala fisik dan psikis.
a. Gejala Fisik
Gejala stres secara fisik dapat berupa jantung berdebar, napas cepat dan memburu / terengah – engah, mulut kering, lutut gemetar, suara menjadi serak, perut melilit, nyeri kepala seperti diikat, berkeringat banyak, tangan lembab, letih yang tak beralasan, merasa gerah, panas , otot tegang.
b. Gejala Psikis
Keadaan stres dapat membuat orang – orang yang mengalaminya merasa gejala – gejala psikoneurosa, seperti cemas, resah, gelisah, sedih, depresi, curiga, fobia, bingung, salah faham, agresi, labil, jengkel, marah, lekas panik, cermat secara berlebihan.

MODEL STRESS
Ada 3 Model Stress
Cox (dalam Prabowo, 1998) mengemukakan tiga model stress yaitu : Respons-based model, Stimulus- based model, dan Interaction model.
a.     Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit.
b.      Stimulus-based model
Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah sebagai berikut :
(1)    Overload
Karakteristik individu ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.
(2)    Conflict
Konflik diukur ketika sebuah stimulus secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian.
(3)    Uncontrollability
Uncontrollalibility adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas atau tidak bergantung pada perilaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi.
c.       Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari respons-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mengatasi.

Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Penerbit Gunadarma.


PRIVASI

Pengertian Privasi :

         Privasi adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka.
Pengertian interaksi menurut beberapa tokoh yaitu :
  • Rapoport    : Kemampuan untuk mengontrol interaksi memperoleh pilihan dan mencapai interaksi yang diinginkan
  • Marshall     : Pilihan untuk menghindari diri dari keterlibatan dengan orang dan lingkungan sosial.
  • Altman       : Proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri
    sendiri  dan akses kepad orang lain
  • Dibyo Hartono (1986) : Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan menyangkut keterbukaan atau ketertutupan , yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar di capai orang lain
Faktor Pengaruh Privasi
 
1.Faktor Personal
Latar belakang pribadi memiliki kaitan yang erat dengan kebutuhan akan privasi
2.Faktor Situasional
Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford dalam Prabowo, 1998)

3.Faktor Budaya
terdapat perbedaan pandangan mengenai privasi atau bagaimana individu mendapatkan privasinya dalam setiap budaya dimana ia berada.
 
Pengaruh Privasi terhadap Perilaku
Pengaruh privasi terhadap perilaku dipicu dari berbagai sumber :
  • Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari prilaku yang penting adalah untuk mengtur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan social
  • Maxine Walfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam khidupan sehari-hari.
  • Westin (dalam Holahan , 1982 ) bahwa ketertutupan terhadap informasi yang personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain
sumber : Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur,Pikologi dan masyarakat. Depok: Gunadarma 
             http://psikologilingkunganrahmawati.wordpress.com/2011/03/29/privasi/
              http://id.wikipedia.org/wiki/Privasi
http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf

Teritorialitas

A.    Pengertian Teritorialitas
       Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan Dewar (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritorialitas memiliki implikasi tertentu yang secara grafis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.
B.  Elemen-elemen Teritorialitas
     Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu:
(1) kepemilikan atau hak dari suatu tempat
(2) personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
(3) hak untuk mempertahankan diri dari dari gangguan luar, dan
(4) pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika

Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan tiga tingkat kumpulan spasial yang saling terkait satu sama lain:
1. Personal Space, yang telah banyak dibahas dimuka.
2. Home Base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.

Dalam usahanya membangun suatu model yang member perhatian secara khusus pada desain lingkungan, maka Hussein El-Sharkawy (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan empat teoriti, yaitu: attached, central, supporting, & peripheral.
1. Attached Territory adalah “gelembung ruang” sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal.
2. Central Territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuan                                yaitu kurang memiliki personalisasi; Oscar Newman menyebutnya “ruang privat”.
3. Supporting Territory adalah ruang-ruang yang bersifat semi privat dan semi publik. Pada semi privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai ditepi kolam renang, atau area-area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebgai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang-ruang semi pulik antara lain adalah: salah satu sudut ruangan pada toko, kedai minum (warung), atau jalan kecil di depan rumah. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi public tidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Territory adalah ruang public, yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau oleh suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki atau menuntutnya. Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu: teritorial primer, teritorial sekunder, dan teritorial umum.

Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu: territorial primer, teritorial sekunder, dan teritorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikilogis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara, dan sebagainya.

2. Teritorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Terirorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona servis, dan sebagainya.

3. Teritorial Umum
Teritorial umumdapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Teritorial umum dapat digunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh territorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga: Syalls, Turns, dan Space.

a. Stalls
Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar di hotel, kamar-kamar di asrama, ruang kerja, lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.

b. Turns
Truns mirip dengan stalls, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaan saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin, dan sebagainya.

c. Use Space
Use Space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titk kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah “Use Space” atau ruang terpakai yang dimiliki oleh orang itu, serta tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.




Privasi suatu lingkungan dapat dicapai melalui pengontrolan territorial, karena di dalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi:

1. Kebutuhan akan identitas, berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan, kebutuhan     terhadap aktualisasi diri yang pada prinsipnya adalah dapat menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat.
2. Kebutuhan terhadap stimulsi yang berkaitan erat dengan aktualisasi dan pemenuhan diri.
3. Kebutuhan akan rasa aman, dalam bentuk bebas dari kecaman, bebas dari serangan oleh pihak luar, dan memiliki keyakinan diri.
4. Kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya (Lang dan Sharkway dalam Lang, 1987).

Menurut Fisher dkk (1984), pada teori-teori utama, suatu keluarga memiliki peraturan-peraturan teritorial yang memfasilitasi berfungsinya rumah tangga. Hal ini mendukung organisasi soaial keluarga dengan cara memperbolehkan perilaku-perilaku tertentu dilakukan oleh beberapa anggotanya, pada daerah-daerah tertentu (misalnya: orang tua dapat membangun keintiman di kamat tidur tanpa terganggu). Dalam satu studi tentang teritorialitas dalam kehidupan keluarga, ditemukan bahwa orang-orang yang berbagi kamar tidur menunjukan perilaku territorial, seperti halnya individu-ivdividu di meja makan (misalnya: dengan adanya pola tempat duduk). Anggota keluarga umumnya menghormati tanda-tanda territorial yang lain, seperti misalnya pintu yang ditutup dan pelanggaran aturan-aturan teritorial seringkali berakibat pada penghukuman orang-orang yang melanggarnya.
Perilaku teritorial dalam kelompok tidak terbatas pada teritori utama saja. Lipman (1967) menemukan bahwa rumah peristirahatan membuat klaim yang hampir eksklusif atas kursi-kursi tertentu dalam ruang sehari-hari. Mereka mempertahankan “teritori” mereka meskipun akan mengakibatkan ketidaknyamanan fisik dan psikologis.
Suatu studi yang mendukung pula asumsi Altman (1975) tentang pembedaan konseptual antara teritori primer, sekunder dan umum. Taylor dan Stuogh (1978) menemukan bahwa subjek melaporkan merasa memiliki kendali yang lebih besar di teritori primer (misalnya kamar di asrama), diikuti oleh teoriti sekunder (misalnya secretariat perkumpulan) dan teoriti umum (misalnya tempat minum, bar atau kafetaria). Pada banyak penelitian, perasaan mengendalikan atau mengontrol ini berkaitan dengan perasaan puas dan sejahtera (sense of well being), seperti juga efek positif lainnya (misalnya implikasi yang menguntungkan terhadap kesehatan). Dan studi yang dilakukan oleh Edney (1975) terhadap mahasiswa Universitas Yale memperjelas manfaat tambahan dari perasaan merasa berada di wilayah sendiri. Penelitian ini dilaksanakan di kamar salah seorang dari pasangan yang ada, di suatu asrama (teritori primer), dimana anggota yang lain menjadi “tamu pengunjung”. Subjek yang berada diwilayahnya sendiri dinilai (rated) oleh si tamu lebih santai, daripada si pemilik tempat menilai tamunya, dan pemilik kamar menilai kamarnya lebih menyenangkan dan bersifat pribadi daripada si tamu. Pemilik kamar juga menunjukan perasaan kontrol pasif yang lebih besar. Pada studi yang berhubungan. Edney dan Uhlig (1977) melaporkan bahwa subjek yang terdorong untuk berfikir bahwa kamar tersebut adalah teritorinya lebih tidak bergairah, mengatribusikan perilakunya lebih kepada kamarnya, dan menemukan setting tersebut lebih menyenangkan daripada yang lainnya dalam kelompak kontrol.
Menurut Altman (1975), territorial bukan hanya alat untuk menciptakan privasi saja, melainkan berfungsi juga sebagai alat untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial. Perilaku teritorialitas manusia dalam hubungannya dengan lingkungan binaan dapat dikenal antara lain pada penggunaan elemen-elemen fisik untuk menandai demarkasi teritori yang di miliki seseorang, misalnya pagar halaman. Teritorialitas ini terbagi sesuai dengan sifatnya yaitu mulai dari yang privat sampai dengan publik. Ketidakjelasan pemilikan territorial akan menimbulkan gangguan terhadap perilaku.


C.     Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Suatu studi menarik dilakukan oleh Smith (dalam Gifford, 1987) yang melakukan studi tentang penggunaan pantai orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal di Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford,1987). Hasil dari ke dua penelitiam ini menunjukan bahwa penggunaan pantai antara orang Perancis, Jerman dan Amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menuntut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang jerman membuat lebih banyak tanda. Mereka sering sekali menegakan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertententu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya, ukuran teritorialitas ternyata berbeda diantara ketiga budaya tersebut, wlaupun dengan bentuk yang dapat dikatakan sama. Orang Jerman lebih sering menintit teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada ketiga budaya maupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai territorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.

http://www.elearning.gunadarma.ac.id/

Selasa, 05 April 2011

pengertian ruang personal

A. Pengertian Ruang Personal
Ruang personal adalah ruang di sekeliling individu, yang selalu dibawa orang kemana saja ia pergi dan orang akan merasa terganggu jika ruamg tersebut diinterferensi (Gifford, 1987). Artinya kebutuhan terhadap ruang personal terjadi ketika orang lain hadir.
Menurut Sommer(dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak atau daerah disekitar individu dimana jika dimasuki orang lain menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang dan kadang-kadang menarik diri. Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain :
1.      Ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain
2.      Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri
3.      Pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan dari kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
4.      Ketika seseorang melanggar ruang personal lain, maka dapat berakibat kecemasan, stres dan perkelahian.
5.      Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia.

B. Ruang Personal dan Perberdaan Budaya
Dalam lintas budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruang, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya.
Watson (dalam Gifford, 1982) menegaskan bahwa budaya dapat dibagi menjadi dua yaitu budaya kontak dan budaya non kontak. Suatu studi menemukan pada bahwa siswa siswi dari bidaya kontak (Amerika Latin, Spanyol, dan Maroko) duduk berjauhan satu sama lain daripada siswa siswi dari kebudayaan non kontak (Amerika). Penelitian ini dibantah oleh Shuter.
Orang Costa Rika menyukai jarak personal yang lebih dekat daripada orang Panama atau Kolombia. Sussman dan Rosenfeld (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa orang Jepang menggunakan jarak personal yang lebih lebar daripada orang Amerika yang menggunakan lebih besar daripada orang Venezuela.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan hal yang lazim dalam “budaya kontak”. Orang –orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontal interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersama-sama dalam satu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalam ruang yang sama.


Kesesakan

1. PENGERTIAN KESESAKAN
Kesesakan merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara didunia dimasa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumbar daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak terbatas.
Kesesakan timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dibanyak negara(mis: Indonesia, Cina, India dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikologis. Dalam perspektif Psikologis dari kesesakan adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destrukif.

2. TEORI KESESAKAN
Kepadatan memang mengakibatkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Ada 3 konsep yang menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, teori ecological model (Stocols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain;1987). Ketiga konsep tersebut menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Semakin padat suatu kawasan semakin banyak informasi yang melintas dihadapan penghuni adalah dinamika yang tidak terhindarkan, bila informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya , maka timbulah maslah psikologis.
Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu. Konsep ini berkaitan dengan konsep ekologi. Ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi maka lingkungan alam dan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah( Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana sesak dan padat, kondisi psikologis negatif mudah timbul sehingga memunculkan stres dan bernagai macam aktivitas sosial negatif( Wrightsman dan Deaux,1981). Bentuk aktivitas tersebut antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit fisik dan psikologis, stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis dan gangguan jiwa;
2)  munculnya patologi sosial seperti kejahatan dan kenakalan remaja;
3)  munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, prososial, dan kecenderungan berprasangka;
4)  menurunya prestasi kerja.

Teori 2 Kesesakan :
1.     Teori Beban Stimulus
Kesesakan akan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (melebihi kapasitas kognitifnya) sehingga timbul kegagalan dalam memproses stimulus atau info dari lingkungan.
Menurut Keating, Stimulus adalah hadirnya banyak orang dan aspek-aspek interaksinya, kondisi lingkunga fisik yang menyebabkan kepadatan social. Informasi yang berlebihan dapat terjadi karena :
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama

3.FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESESAKAN

1. Faktor Personal
a. Kontrol Pribadi dan Locus Of Control; Selligman, dkk :
Kepadatan meningkat bias menghasilkan kesesakan bila individu sudah tidak punya control terhadap lingkungan sekitarnya. Control pribadi dapat mengurangi kesesakan. Locus Of Control ibternal : Kecendrungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaab yang ada di dalam dirinya lah yang berpengaruh kedalam kehidupannya.

b. Budaya, pengalaman dan proses adaptasi
Menurut Sundstrom : Pengalaman pribadi dalam kondisi padat mempengaruhi tingkat toleransi.
Menurut Yusuf : Kepadatan meningkat menyebabkan timbulnya kreatifitas sebagai intervensi atau upaya menekankan perasaan sesak.

c. Jenis kelamin dan usia
Pria lebih reaktif terhadap kondisi sesak
Perkembangan, gejala reaktif terhadap kesesakan timbul pada individu usia muda.

2. Faktor Sosial
a. Kehadiran dan perilaku orang lain
b. Formasi koalisi
c. Kualitas hubungan
d. Informasi yang tersedia

3. Faktor Fisik
- Goves dan Hughes : Kesesakan didalamnya rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik, jenis rumah, urutan lantai, ukuran, suasan sekitar.
- Altman dan Bell, dkk : Suara gaduh,panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, karakteristik setting mempengaruhi keses

D. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku
§                     Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973)
§                     Aktifitas seseorang akan terganggu oleh aktifitas orang lain.
§                     Disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
§                     Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982)


Sumber: